Di sebuah desa yang indah di Jawa Barat, hidup seorang janda yang bernama Nyai Bagendit. Nyai Bagendit adalah wanita terkaya di desanya, namun hatinya dipenuhi oleh kekikiran, pelit, dan ketamakan. Ia tidak pernah mau memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan, bahkan sampai-sampai mengusir orang miskin yang datang meminta pertolongan ke rumahnya.
Suatu hari, Nyai Bagendit mengadakan selametan besar-besaran untuk merayakan harta kekayaannya yang semakin bertambah. Namun, di tengah kebahagiaan itu, datanglah seorang nenek tua yang membawa bayi kecil. Nenek itu terlihat sangat menyedihkan, pakaian compang-camping, dan tubuhnya yang kurus. Dengan harapan, nenek itu meminta sedikit makanan kepada Nyai Bagendit.
Namun, Nyai Bagendit dengan kejamnya menjawab, "Hei, nenek tua! Janganlah punya anak jika kamu tidak mampu memberinya makan. Pergi dari rumahku!" Nenek itu pun pergi dengan hati yang berat, ditinggalkan oleh kekikiran Nyai Bagendit.
Waktu berlalu, dan musim kemarau tiba. Sejumlah warga desa yang haus dan kelaparan mendatangi rumah Nyai Bagendit untuk meminta air dari sumurnya yang melimpah. Tapi Nyai Bagendit, yang selalu tamak, menolak mereka dengan tegas. "Cari tempat lain kalau mau air. Aku tidak mengizinkan kalian mengambil airku!" bentaknya kepada warga yang memohon bantuan.
Namun, kejadian yang mengejutkan terjadi ketika seorang kakek tua datang meminta air. Kakek itu sudah tua, kurus, dan hanya meminta air untuk diminum. Tanpa ampun, Nyai Bagendit membawakan ember air, tapi malah menyiramkannya ke kakek itu dengan kejam. Bahkan, ia mendorong kakek tua tersebut hingga jatuh dan merampas tongkatnya.
Keesokan harinya, desa tersebut digemparkan oleh penemuan sebuah tongkat yang tertancap di jalan desa. Tak seorang pun dari warga yang mampu mencabutnya. Tiba-tiba, muncullah perempuan tua yang dulu pernah meminta makan pada selametan Nyai Bagendit. Dengan keajaiban, perempuan tua itu mampu mencabut tongkat tersebut, dan air pun mengalir deras.
Warga desa panik karena takut kebanjiran, namun perempuan tua itu segera pergi meninggalkan desa, diikuti oleh warga yang lain. Hanya Nyai Bagendit yang tetap bertahan, tidak mau kehilangan rumah dan hartanya.
Akhirnya, Nyai Bagendit pun tenggelam bersama dengan kekikiran dan ketamakannya. Kisah ini mengajarkan kita untuk selalu berbagi dan menghargai orang lain, karena ketamakan dan kekikiran hanya akan membawa bencana pada akhirnya.
Pesan Moral yang bisa diambil pelajaran dari cerita ini
Pesan moral yang bisa diambil dari cerita ini adalah pentingnya sikap kasih sayang, kepedulian, dan kebaikan hati terhadap sesama. Nyai Bagendit menjadi contoh yang buruk karena kekikirannya, sementara perempuan tua dan kakek yang tulus meminta bantuan menggambarkan pentingnya sikap empati dan kebaikan dalam membantu orang yang membutuhkan.
Peribahasa yang sesuai dengan cerita ini adalah "Air beriak tanda tak dalam." Artinya, perilaku buruk seseorang seperti Nyai Bagendit, meskipun awalnya bisa tersembunyi, akhirnya akan terungkap dan membawa konsekuensi buruk pada dirinya sendiri.